Asy-Syaikh Dr. Shalih Fauzan Al-Fauzan Hafidzahullah
A. DEFINISI IBADAH
Ibadah
(عبادة) secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Di
dalam syara’, ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan
maksudnya satu. Definisi ibadah itu antara lain :
1. Ibadah ialah taat kepada Allah dengan
melaksanakan perintah-perintah-Nya (yang digariskan) melalui lisan para
Rasul-Nya,
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah ,
yaitu tingkatan ketundukan yang paling tinggi disertai dengan rasa
mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi,
3. Ibadah ialah sebutan yang mencakup
seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir maupun bathin. Ini adalah definisi ibadah yang paling lengkap.
Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa
khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal
(ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah
qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji,
dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih
banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan
badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia, Allah berfirman,
“Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku
tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah,
Dia-lah Maha Pemberi rizki yang mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-58)
Allah memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar
mereka melaksanakan ibadah kepada Allah . Dan Allah Maha Kaya, tidak
membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya.
Karena ketergantungan mereka kepada Allah , maka mereka menyembah-Nya
sesuai dengan aturan syari’at-Nya. Maka siapa yang menolak beribadah
kepada Allah , ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya tetapi dengan
selain apa yang disyari’atkan-Nya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku
bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari’at-Nya,
maka dia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah ).
==============================================
تعريف العبادة
فأجاب -رحمه الله
العبادة: هي اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه، من الأقوال والأعمال الباطنة والظاهرة،
فالصلاة والزكاة والصيام والحج، وصدق الحديث وأداء الأمانة، وبر الوالدين
وصلة الأرحام، والوفاء بالعهود، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، والجهاد
للكفار والمنافقين، والإحسان للجار واليتيم والمسكين وابن السبيل والمملوك
من الآدميين والبهائم، والدعاء والذكر والقراءة، وأمثال ذلك من العبادة،
وكذلك حب الله ورسوله، وخشية الله والإنابة إليه، وإخلاص الدين له، والصبر
لحكمه، والشكر لنعمه، والرضا بقضائه، والتوكل عليه، والرجاء لرحمته، والخوف
من عذابه، وأمثال ذلك هي من العبادة لله
Makna Ibadah Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah :
Ibadah adalah segala sesuatu yang
mencakup semua hal yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala, baik berupa
ucapan dan amalan, yang nampak dan yang tersembunyi.
Maka shalat, zakat, puasa, hajji, berkata
benar, menyampaikan amanat, berbakti kepada kedua orang tua,
silaturrahim, menepati janji, amar ma’ruf nahi mungkar, jihad menghadapi
orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim,
orang miskin, ibnu sabil, budak, hewan piaran, berdoa, berzikir, membaca
al Quran, dan yang semisalnya termasuk ibadah. Demikian juga mencintai
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam,
takut dan inabah kepada-Nya, ikhlas hanya kepada-Nya, bersabar atas
hukum-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, ridha dengan qadha-Nya,
bertawakkal kepada-Nya, mengharap rahmat-Nya, takut kepada azab-Nya, dan
yang semisalnya termasuk dalam ibadah.
==============================================
B. MACAM-MACAM IBADAH DAN KELUASAN CAKUPANNYA
Ibadah itu banyak macamnya. Ia mencakup semua ketaatan yang nampak
pada lisan, anggota badan dan yang lahir dari hati. Seperti dzikir,
tasbih, tahlil, dan membaca Al-Qur’an; shalat, zakat, puasa, haji,
jihad, amar ma’ruf nahi munkar, berbuat baik kepada kerabat, anak yatim,
orang miskin dan ibnu sabil. Begitu pula cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya, khassyatullah (takut kepada Allah), inabah (kembali)
kepada-Nya, ikhlas kepada-Nya, sabar terhadap hukum-Nya, ridha dengan
qadha’-Nya, tawakkal, mengharap nikmat-Nya dan takut dari siksa-Nya.
Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika
perbuatan itu diniatkan sebagai qurbah (pendekatan diri kepada Allah )
atau apa-apa yang membantu qurbah itu.
Bahkan
adat kebiasaan yang dibolehkan secara syari’at (mubah) dapat bernilai
ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepada-Nya. Seperti
tidur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan
sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar)
maka menjadi bernilai ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Karenanya,
tidaklah ibadah itu terbatas pada syi’ar-syi’ar yang biasa dikenal
semata.
C. PAHAM-PAHAM YANG SALAH TENTANG PEMBATASAN IBADAH
Ibadah adalah perkara tauqifiyah. Artinya tidak ada suatu bentuk
ibadah pun yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah
yang ditolak), sebagaimana sabda Nabi :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa melaksanakan suatu amalan tidak atas perintah kami, maka ia ditolak.” (HR. Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718)
Maksudnya, amalnya ditolak dan tidak diterima, bahkan ia berdosa karenanya. Sebab amal tersebut adalah maksiat, bukan taat.
Kemudian manhaj (jalan) yang benar dalam melaksanakan ibadah yang
disyari’atkan adalah sikap pertengahan. Tidak meremehkan dan malas,
serta tidak dengan sikap ekstrim dan melampaui batas. Allah berfirman
kepada Nabi-Nya ,
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar,
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat
beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.” (QS. Hud: 112)
Ayat Al-Qur’an ini adalah garis petunjuk bagi langkah manhaj yang
benar dalam pelaksanaan ibadah. Yaitu dengan ber-istiqomah dalam
melaksanakan ibadah pada jalan tengah, tidak kurang atau lebih, sesuai
dengan petunjuk syari’at (sebagaimana yang diperintahkan). Kemudian pada
akhir ayat, Allah menegaskan lagi dengan firman-Nya, “Dan janganlah
kamu melampaui batas.”
Tughyan adalah melampaui batas dengan bersikap terlalu keras dan memaksakan kehendak serta megada-ada. Ia lebih dikenal dengan ghuluw.
Ketika Rasulullah mengetahui bahwa tiga orang dari sahabatnya
melakukan ghuluw dalam ibadah, dimana seorang dari mereka berkata,
“Saya akan terus berpuasa dan tidak berbuka”, yang kedua berkata, “Saya
akan shalat terus dan tidak tidur”, lalu yang ketiga berkata, “Saya
tidak akan menikahi wanita”, maka beliau bersabda, “Adapun saya, maka
saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan saya tidur, dan saya menikahi
perempuan. Maka barang siapa tidak menyukai jejakku maka dia bukan dari
(bagian atau golongan)-ku.” (HR. Bukhari no. 4675 dan Muslim no. 2487)
Ada 2 golongan yang saling bertentangan dalam soal ibadah :
1. Golongan pertama: Yang
mengurangi makna ibadah serta meremehkan pelaksanaannya. Mereka
meniadakan berbagai macam ibadah dan hanya melaksanakan ibadah-ibadah
yang terbatas pada syi’ar-syi’ar tertentu dan sedikit, yang hanya
diadakan di masjid-masjid saja. Menurut mereka tidak ada ibadah di
rumah, di kantor, di toko, di bidang sosial, juga tidak dalam peradilan
kasus sengketa dan dalam perkara-perkara kehidupan lainnya.
Memang masjid mempunyai keistimewaan dan harus dipergunakan dalam
shalat fardhu lima waktu. Akan tetapi ibadah mencakup seluruh aspek
kehidupan muslim, baik di masjid maupun di luar masjid.
2. Golongan kedua:
Yang bersikap berlebih-lebihan dalam praktek ibadah sampai pada batas
ekstrim, yang sunnah sampai mereka angkat menjadi wajib, sebagaimana
yang mubah (boleh) mereka angkat menjadi haram. Mereka menghukumi sesat
dan salah orang yang menyalahi jalan (manhaj) mereka, serta menyalahkan
pemahaman-pemahaman lainnya.
Padahal sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad dan seburuk-buruk perkara adalah yang bid’ah.
D. PILAR-PILAR UBUDIYAH YANG BENAR
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar sentral, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut) dan raja’ (harapan).
Rasa cinta (hubb) harus dibarengi dengan sikap rasa rendah diri,
sedangkan khauf (takut) harus dibarengi dengan raja’ (harapan). Dalam
setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang
sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin,
“Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.” (QS. Al-Maidah: 54).
Dan juga firman-Nya,
“Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Dalam perkara ini, Allah juga berfirman menyifati para Rasul dan Nabi-Nya,
“Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan
harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada
Kami.” (QS. Al-Anbiya: 90)
Sebagian salaf berkata, “Siapa yang menyembah Allah dengan rasa hubb
(cinta) saja maka dia zindiq (istilah untuk setiap munafik, orang yang
sesat dan mulhid). Siapa yang menyembah-Nya dengan raja’ (harapan)
semata maka ia adalah murji’ (orang Murji’ah, yaitu golongan yang
mengatakan bahwa amal bukan dari iman. Iman hanya dengan hati saja). Dan
siapa yang menyembah-Nya hanya dengan khauf (takut) saja, maka dia
adalah harury (orang dari golongan Khawarij, yang pertama kali muncul di
Harurro’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang
berdosa adalah kafir). Siapa yang menyembah-Nya dengan hubb, khauf dan
raja’ maka dia adalah mukmin muwahhid”.
Hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
dalam Risalah Ubudiyah. Beliau juga berkata, “Dien Allah adalah
menyembah-Nya, taat dan tunduk kepada-Nya. Asal makna ibadah adalah
adz-dzull (hina). Dikatakan “طريق معبّد” jika jalan itu dihinakan dan
diinjak-injak oleh kaki manusia. Akan tetapi ibadah yang diperintahkan
mengandung makna dzull (hina/merendahkan diri) dan hubb (cinta). Yakni
mengandung makna dzull yang paling dalam dengan hubb yang paling tinggi
kepada Allah . Siapa yang tunduk kepada seseorang dengan perasaan benci
kepadanya, maka ia bukanlah menghamba (menyembah) kepadanya. Dan jika ia
menyukai sesuatu tetapi tidak tunduk kepadanya, maka iapun tidak
menghamba (menyembah) kepadanya. Sebagaimana seorang ayah mencintai anak
atau rekannya. Karena itu tidak cukup salah satu dari keduanya dalam
beribadah kepada Allah , tetapi hendaklah Allah lebih dicintainya dari
segala sesuatu dan Allah lebih diagungkan dari segala sesuatu. Tidak
ada yang berhak mendapat mahabbah (cinta) dan khudu’ (ketundukan) yang
sempurna selain Allah .” (Majmu’ah Tauhid Najdiyah, 542). Inilah
pilar-pilar kehambaan yang merupakan poros segala amal ibadah.
Ibnu Qayyim rahimullah berkata dalam “Nuniyyah-nya”, “Ibadah kepada
Ar-Rahman adalah cinta yang dalam kepada-Nya, beserta kepatuhan
menyembah-Nya. Dua hal ini adalah ibarat dua kutub. Di atas keduanyalah
orbit ibadah beredar. Ia tidak beredar sampai kedua kutub itu berdiri
tegak. Sumbunya adalah perintah (perintah Rasul-Nya). Bukan hawa nafsu
dan setan.”
Ibnu Qayyim rahimullah menyerupakan beredarnya ibadah di atas rasa
cinta dan tunduk bagi yang dicintai, yaitu Allah dengan beredarnya
orbit di atas dua kutubnya. Beliau juga menyebutkan bahwa beredarnya
orbit ibadah adalah berdasarkan perintah rasul dan syari’atnya, bukan
berdasarkan hawa nafsu dan setan. Karena hal yang demikian bukanlah
ibadah. Apa yang disyari’atkan baginda Rasul itulah yang memutar orbit
ibadah. Ibadah tidak diputar oleh bid’ah, nafsu dan khurafat.
E. SYARAT DITERIMANYA IBADAH
Pembaca yang budiman, untuk melengkapi pembahasan ini, kami ingatkan
lagi dengan syarat diterimanya ibadah. Agar bisa diterima, ibadah
disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar kecuali dengan ada
syarat :
1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil,
2. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah .
Syarat pertama adalah merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha
illallah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan
jauh dari syirik kepada-Nya.
Sedangkan syarat yang kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad
Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti
syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang
diada-adakan. Allah berfirman,
“(Tidak demikian) bahkan barang
siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan,
maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112)
Dalam ayat diatas disebutkan “menyerahkan diri” (aslama wajhahu)
artinya memurnikan ibadah kepada Allah . Dan “berbuat kebajikan” (wahuwa
muhsin) artinya mengikuti Rasul-Nya .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Inti agama
ada dua pokok yaitu kita tidak menyembah kecuali kepada Allah , dan kita
tidak menyembah kecuali dengan apa yang dia syari’atkan, tidak dengan
bid’ah. Sebagaimana Allah berfirman,
“Barang siapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh
dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110). Yang demikian adalah manifestasi
(perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallah dan Muhammad
Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak menyembah kecuali kepada-Nya. Pada yang
kedua bahwasannya Muhammad adalah utusan-Nya yang menyampaikan
ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta
mentaati perintahnya. Beliau telah menjelaskan bagaimana cara kita
beribadah kepada Allah , dan beliau melarang kita dari hal-hal baru atau
bid’ah. Beliau mengatakan bahwa bid’ah itu sesat” (Al-Ubudiyah, hal
103; ada dalam Majmu’ah Tauhid, hal. 645)
Rujukan : Kitab Tauhid lish-Shafil Awwal karya Dr. Shalih Al-Fauzan